Sabtu, 07 Desember 2019

Sumbangsih Para Ulama Klasik dalam Teori Ekonomi Modern


Sumbangsih Para Ulama Klasik dalam Teori Ekonomi Modern

Individu, negara, masyarakat dan pasar merupakan empat elemen menarik yang selalu menjadi topik bahasan dalam wacana ekonomi, baik ekonomi Islam maupun ekonomi konvensional. Uniknya, kedua model wacana ekonomi—baik ekonomi Islam maupun ekonomi konvensional–senantiasa menunjukkan kemiripan dalam wilayah kajiannya. Para sejarawan ekonomi bahkan sempat menaruh kecurigaan, apakah ekonomi Islam yang membajak teori ekonomi konvensional ataukah sebaliknya teori ekonomi konvensional yang membajak teori ekonomi Islam.  Berbicara tentang teori ekonomi Islam, maka tidak bisa meninggalkan pemikiran Abu Yûsuf (w. 181 H/798 M) dari kalangan Hanafiyah, al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dari kalangan Syafiiyah dan Ibn Qudâmah al-Maqdisî (w. 556 H/1162 M) dari kalangan Hanâbilah. Belakangan, ada Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) yang mendaku pengikut Hanâbilah dalam bidang ekonomi. Memang, ada kesamaan antara teori ekonomi kalangan Hanabilah dengan Ibnu Taimiyah dalam banyak aspek. 

Adapun bila kita berbicara soal ekonomi konvensional yang dianggap merupakan tonggak ekonomi kontemporer dewasa ini, maka kita tidak bisa menisbikan nama St Thomas Aquinas (w. 1274 M) dengan Summa Theologica-nya dan Adam Smith (w. 1790 M) dengan teori invisible hands-nya.  St. Thomas Aquinas hidup 1 abad setelah era al-Ghazâli, yaitu di masa setelah banyak terjadi persinggungan besar-besaran dunia Islam dengan dunia Barat. Nama besar Imam al-Ghazâli saat itu sudah bukan hal yang asing lagi bagi kalangan intelektual dunia Barat. Dan sebagaimana diakui oleh penulisnya, Summa Theologica banyak merujuk pada karya besar al-Ghazâli, yaitu kitab Ihyâ Ulûmid Dîn utamanya, khususnya ketika ia membahas soal pasar dan intervensi pemerintah dalam penentuan harga. 

Dengan demikian, jika karya St Thomas Aquinas dianggap sebagai titik masuk sejarah pemikiran modern ekonomi kontemporer saat ini, maka sepertinya hal itu tidaklah tepat. Sebab, justru al-Ghazali-lah yang merupakan tonggak pertama pemikiran ekonomi modern dan pemikirannya banyak diadopsi olehnya. Atau bahkan sosok Abû Yûsuf yang hidup di era Abad ke-2 H merupakan peletak tonggak ekonomi modern itu. Adapun Adam Smith (w. 1790 M) dengan teori invisible hands-nya, yang hidup kurang lebih 6 abad pasca Ibnu Qudâmah (w. 1162 M) atau 4 abad setelah Ibnu Taimiyah (w. 1328 M), dan ia didaulat sebagai bapak ekonomi modern, sepertinya tidak menemukan adanya relevansi. 
Dunia Barat, di abad sebelum St Thomas Aquinas dikenal oleh para sejarawan sebagai masa kegelapan (the dark age) atau dalam bahasa kita disebut sebagai abad jahiliyah dunia Barat. Jadi, alangkah ahistorisnya apabila St Thomas Aquinas tiba-tiba dianggap sebagai telah meletakkan sebuah teori ekonomi modern di saat itu, tanpa ada dasar persinggungan sebelumnya dengan dunia pemikiran yang sudah berkembang dan maju. Demikian juga Adam Smith dengan teori invisible hands-nya, hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa ada persinggungan sebelumnya dengan dunia lain dari Barat. Dan persinggungan itu lebih bisa disebut rasional bila ditengarai dengan dunia muslim.  Mari kita coba kuak tentang makna invisible hands dari Adam Smith. Invisible hands memiliki arti leksikal sebagai “tangan-tangan tak terlihat.” Teori ini dibangun atas dasar kehendak mewujudkan pasar bebas. Dalam pasar bebas, persaingan harga akan berjalan alami. Harga dibentuk oleh banyaknya permintaan dan jumlah barang. Jika permintaan banyak sementara barang dalam jumlah sedikit, maka yang akan terjadi adalah harga akan naik. Demikian sebaliknya bila jumlah barang melimpah, sementara jumlah permintaan menurun, maka kurva harga barang akan menjadi turun. Apabila terjadi persaingan di harga-harga barang ini, maka dengan sendirinya akan terbentuk yang namanya harga ekuilibrum (harga setimbang). Penyebab turun dan naiknya harga yang berlangsung “alami” ini disebut oleh Adam Smith sebagai “the invisible hands” – tangan-tangan tak terlihat.  Teori Adam Smith ini sebenarnya mirip dengan bunyi sebuah hadits Rasulillah SAW yang diriwayatkan dari jalur sanad Anas bin Malik: غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يارسول الله لوسعرت؟ فقال: إن الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولايطلبني احد بمظلمة ظلمتها اياه في دم ولامال رواه الخمسة الا النسائي وصححه الترمذي  "Suatu ketika terjadi krisis di zaman Rasulullah SAW, kemudian para sahabat meminta kepada beliau menetapkan harga-harga barang: "Andaikan tuan mau menetapkan harga barang?" Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Mengendalikan, Maha membeber  rezeki, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Penentu Harga. Sesungguhnya aku juga berharap jika Allah SWT memberi perkenan aku untuk menurunkan harga dan tidak ada seorang pun yang menuntutku dengan suatu kezaliman yang aku perbuat atas dirinya, terhadap darah dan juga hartanya.” (HR Imam lima selain al Nasai dan dishahihkan oleh al Tirmidzy)
Berdasarkan bunyi dhâhir hadits ini, diketahui bahwa inflasi dan deflasi harga merupakan sebuah mekanisme yang berlangsung alami. Oleh karena itu, suatu ketika ia akan menemui titik equilibrum (iqtishad) sendiri. Yang menentukan harga menuju titik equilibrum adalah Allah Dzat Yang Maha Penentu Harga (al-Mus’ir). Al-Mus’ir menurut Adam Smith disebut sebagai invisible hands, yang mungkin arti tepatnya adalah The God Hand (campur Tangan Allah).  Berdasarkan hadits di atas, juga dijelaskan secara sekilas bahwa intervensi terhadap harga merupakan sebuah tindakan kezaliman. Kezaliman ini dalam istilah modernnya disebut sebagai krisis. Teori ini, dalam bingkai keislaman diadopsi oleh kalangan Hanabilah, termasuk di dalamnya adalah Ibnu Qudâmah dan Ibnu Taimiyah.  Dari kalangan Hanabilah misalnya, yang diwakili oleh Ibn  Qudamah al-Maqdisî, menjelaskan bahwasanya:  التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم يقدموا بسلعهم بلداً يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون، ومن عنده البضاعة يمتنع من بيعها ويكتمها، ويطلبها أهل الحاجة إليها فلا يجدونها إلا قليلاً، فيرفعون في ثمنها ليصلوا إليها، فتغلو الأسعار ويحصل الإضرار بالجانبين: جانب المُلاك، في منعهم من بيع أملاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حراماً Artinya: "Tas'ir merupakan salah satu penyebab timbulnya inflasi harga, karena tabiat para pelaku jual beli jalab (talaqqy rukban) – makelar – biasanya, ketika sampai kepada mereka [berita harga di pasaran], maka mereka tidak akan mendatangkan dagangan mereka ke negara yang mereka benci melakukan transaksi didalamnya sebab tidak sesuai dengan harapannya. Bagi pemilik barang, mereka melakukan penahanan barang, menimbunnya, sementara konsumen banyak yang sedang mencari barang, dan mereka tidak menemukannya di pasaran kecuali dalam jumlah minim. Akibatnya, mereka terpaksa menaikkan harga untuk mendapatkannya. Akhirnya terjadilah kenaikan harga, yang berakibat merugikan kedua pihak yang sedang bertransaksi, yakni: di satu sisi, pihak pemilik barang dirugikan sebagai konsekuensi penahanan barang miliknya, dan di sisi yang lain adalah pembeli sebagai konsekuensi tertahannya ia dari mendapatkan barang yang dibutuhkan. Maka dari itulah, tas’ir hukumnya adalah haram.” (Ibn  Qudâmah al-Maqdisy, Al Mughny Syarah Matn al-Kharâqy, Kairo: Thab’ah Maktabah al-Qâhirah, 1970: 4/240) Menurut Ibn  Qudâmah al-Maqdisî, pematokan harga merupakan sebab timbulnya krisis pada harga pasar. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibn  Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam. Menurut Ibn  Taimiyah, harga di pasaran ditentukan oleh keberadaan supply and demand (jumlah barang dan permintaan) serta hubungannya dengan selera dan pendapatan konsumen. Bila masing-masing komponen pasar telah berjalan sesuai dengan aturan, maka selebihnya harga akan ditentukan oleh Allah SWT. Jadi, kesimpulannya, teori modern ekonomi itu teori yang diambil dari khazanah Islam ataukah dari Adam Smith? Seolah ada ketidakjujuran intelektual di masa itu, bahwa sebenarnya teorinya Adam Smith adalah diadopsi dari buah karya intelektual muslim yang telah dicitarasakan Barat (westernized economics). Jika teori Adam Smith dianggap sebagai basic teori kapitalis modern, maka dalam Islam, teori ini sebenarnya diletakkan pondasinya oleh kalangan Hanâbilah dan Ibn Taimiyah. Letak perbedaan keduanya mungkin pada penerimaan unsur ribawi dan tidaknya.  Ekonomi Islam dibangun di atas akad transaksi dan mekanisme jual beli, sementara ekonomi konvensional dibangun di atas fondasi penerimaan kepada unsur ribawi. Besarnya angka ribawi yang bisa masuk diterima dalam bingkai keadilan itulah yang menyebabkan timbulnya mazhab ekonomi kritis, atau yang dikenal dengan istilah empirisme. Di dalam Islam, praktik monopoli dagang (ihtikâr) adalah bagian dari kezaliman yang harus dihindari karena bisa jadi pemodal akan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga memberatkan pada konsumen. Besaran keuntungan (ribhun) yang standart inilah yang selanjutnya membentuk unsur harga mitsil (harga standart jual). Koreksi terhadap ribhun yang diperbolehkan ini dalam Islam diadopsi oleh mazhab ekonomi kritis. Hanya saja, mazhab ini harus melibatkan intervensi pemerintah lewat lembaga ekonominya. Oleh karena itu, mazhab teori ekonomi kritis ini hanya bisa diterima oleh kalangan Ekonom Ghazalian dan tidak pada ekonom Hanabilah. Sebagaimana mazhab empirisme, hanya bisa diterima oleh ekonom pengikut St Thomas Aquinas dengan mazhab materialismenya. 

Wallâhu a’lam bish shawab. U

Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar